Positivisme Hukum: Pengertian, Teori, Dan Contoh

by Jhon Lennon 49 views

Hey, guys! Pernah dengar tentang positivisme hukum? Mungkin kedengarannya agak berat ya, tapi percayalah, ini adalah salah satu konsep paling fundamental dalam dunia hukum yang perlu kita pahami. Jadi, apa sih positivisme hukum itu sebenarnya? Singkatnya, positivisme hukum itu adalah pandangan yang memisahkan hukum dari moralitas. Artinya, hukum itu ya hukum, apa yang tertulis dan diberlakukan oleh otoritas yang sah, terlepas dari apakah hukum itu adil atau tidak secara moral. Kalau kata para ahli, hukum positif itu adalah hukum yang ada, yang berlaku dalam masyarakat pada saat tertentu, yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat. Keren, kan? Konsep ini benar-benar mengubah cara kita memandang hukum, dari yang tadinya mungkin dikaitkan erat dengan keadilan ilahi atau moralitas universal, menjadi sesuatu yang lebih konkret dan bisa dianalisis secara empiris. Bayangkan aja, kalau setiap orang bebas menentukan mana hukum yang adil dan mana yang tidak, bisa kacau balau dunia ini, guys! Nah, positivisme hukum hadir untuk memberikan kerangka kerja yang jelas. Intinya, positivisme hukum berfokus pada hukum sebagaimana adanya, bukan hukum sebagaimana seharusnya. Ini bukan berarti para positivis hukum itu anti-moral ya, oh, tentu tidak! Mereka hanya berpendapat bahwa ketika kita bicara soal hukum, kita harus memisahkannya dari pertimbangan moral agar analisisnya lebih objektif dan ilmiah. Jadi, kalau ada peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang sah, walaupun menurut kamu pribadi itu nggak adil, menurut pandangan positivisme, itu tetaplah hukum yang sah dan harus ditaati. Menarik banget kan perdebatan ini? Kita akan kupas tuntas lebih dalam lagi soal teori positivisme hukum di artikel ini, jadi stay tuned ya!

Asal-usul dan Perkembangan Positivisme Hukum

Biar makin nyambung, yuk kita ngobrolin sedikit soal asal-usul positivisme hukum. Konsep ini nggak muncul begitu saja, lho. Akar-akarnya bisa kita telusuri kembali ke era Pencerahan di Eropa, di mana para pemikir mulai fokus pada akal budi dan metode ilmiah. Salah satu tokoh penting yang sering dikaitkan dengan awal mula positivisme hukum adalah Jeremy Bentham. Dia ini seorang filsuf Inggris yang terkenal dengan teori utilitarianismenya, tapi dia juga punya pandangan kuat tentang hukum. Bentham berpendapat bahwa hukum itu adalah perintah dari penguasa politik yang berdaulat, yang didukung oleh ancaman sanksi. Jadi, kalau ada perintah, ada yang memerintah (penguasa), dan ada ancaman hukuman kalau tidak dipatuhi, nah, itu sudah bisa disebut hukum. Keren kan pemikirannya? Setelah Bentham, ada lagi nih tokoh besar yang namanya melegenda di dunia positivisme hukum, yaitu John Austin. Dia ini muridnya Bentham dan mengembangkan lebih lanjut ide-ide gurunya. Austin mendefinisikan hukum sebagai command of the sovereign (perintah dari penguasa). Menurutnya, hukum itu adalah aturan yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat (sovereign) kepada rakyatnya, dan jika aturan itu dilanggar, akan ada sanksi. Nah, konsep 'sovereign' ini penting banget. Penguasa yang berdaulat itu adalah orang atau badan yang tidak tunduk pada siapa pun, tapi semua orang tunduk padanya. Jadi, kalau di negara kita ya bisa dibilang pemerintah pusat atau parlemen yang punya kekuasaan tertinggi. Perlu diingat, guys, pandangan Austin ini lebih fokus pada hukum dalam arti yang sempit, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia (man-made law), bukan hukum alam atau hukum ilahi. Nah, berkembangnya zaman, muncullah tokoh-tokoh lain yang menyempurnakan teori ini. Salah satunya adalah H.L.A. Hart, seorang ahli hukum Inggris yang karyanya sangat berpengaruh di abad ke-20. Hart mengkritik pandangan Austin yang terlalu sederhana. Menurut Hart, hukum itu bukan cuma sekadar perintah penguasa yang didukung sanksi. Dia memperkenalkan konsep rules of recognition (aturan pengakuan), rules of change (aturan perubahan), dan rules of adjudication (aturan penyelesaian sengketa). Hart bilang, sistem hukum yang modern itu terdiri dari gabungan antara primary rules (aturan yang mengatur perilaku langsung, contohnya larangan mencuri) dan secondary rules (aturan yang mengatur aturan primer itu sendiri, misalnya bagaimana cara membuat undang-undang baru atau bagaimana mengadili pelanggaran). Konsep Hart ini lebih kompleks dan mampu menjelaskan bagaimana sistem hukum yang dinamis dan canggih bisa berfungsi. Jadi, bisa dibilang, positivisme hukum itu terus berevolusi, guys, dari pandangan yang sederhana menjadi lebih kompleks dan kaya nuansa. Ini menunjukkan bahwa pemikiran tentang hukum itu nggak pernah berhenti, selalu ada ruang untuk diskusi dan pengembangan. Menarik banget kan perjalanan panjangnya?

Tokoh-Tokoh Utama dalam Teori Positivisme Hukum

Oke, guys, biar makin mantap pemahaman kita tentang positivisme hukum, sekarang kita akan bedah lebih dalam lagi siapa saja sih tokoh-tokoh kunci yang berperan penting dalam membentuk teori ini. Kita sudah sempat singgung sedikit tadi, tapi mari kita berikan apresiasi lebih kepada mereka yang sudah mencetuskan ide-ide brilian ini. Pertama, kita punya Jeremy Bentham (1748-1832). Walaupun lebih dikenal sebagai bapak utilitarianisme, Bentham juga seorang pelopor dalam pemikiran positivistik tentang hukum. Dia secara tegas memisahkan antara what law is (hukum sebagaimana adanya) dan what law ought to be (hukum sebagaimana seharusnya). Baginya, hukum itu adalah instruksi yang diberikan oleh manusia kepada manusia lain, di mana instruksi itu bersumber dari keinginan manusia lain yang memiliki kekuasaan. Ini esensinya adalah perintah yang didukung oleh ancaman. Bentham menekankan pentingnya analisis hukum yang didasarkan pada pengalaman dan observasi, bukan spekulasi metafisik. Dia juga sangat kritis terhadap hukum alam, yang menurutnya terlalu abstrak dan seringkali disalahgunakan untuk membenarkan agenda politik tertentu. Dia percaya bahwa hukum harus didasarkan pada prinsip kemanfaatan, yaitu apa yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Jadi, kalau hukum itu dibuat untuk kebaikan bersama, maka itu adalah hukum yang baik, terlepas dari sumbernya. Pendekatan analitisnya ini menjadi dasar bagi banyak pemikir hukum selanjutnya. Selanjutnya, ada John Austin (1790-1859). Nah, Austin ini sering dianggap sebagai bapak positivisme hukum analitik. Dia secara sistematis mengembangkan ide Bentham. Dalam karyanya yang terkenal, The Province of Jurisprudence Determined, Austin mendefinisikan hukum sebagai perintah dari penguasa (command of the sovereign). Apa artinya? Ini berarti hukum adalah aturan yang dikeluarkan oleh entitas yang berdaulat (sovereign) dan ditujukan kepada bawahan atau rakyatnya. Kedaulatan di sini berarti otoritas tertinggi yang tidak tunduk pada kekuasaan lain. Jika perintah ini dilanggar, akan ada sanksi atau hukuman. Austin sangat lugas dalam pandangannya: hukum adalah hukum karena ia dikeluarkan oleh otoritas yang sah, bukan karena ia selaras dengan moralitas atau keadilan. Dia juga membedakan antara hukum positif (positive law), yaitu hukum yang dibuat oleh manusia dan berlaku dalam masyarakat, dengan moralitas positif (positive morality), yang mencakup aturan-aturan moral yang diakui masyarakat tetapi tidak selalu ditegakkan oleh penguasa. Austin juga mengkritik pandangan hukum alam, karena menurutnya, hukum alam itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan seringkali menimbulkan kebingungan dalam studi hukum. Lalu, yang tidak kalah penting adalah H.L.A. Hart (1907-1992). Hart datang di abad ke-20 dan memberikan pandangan yang lebih canggih tentang positivisme hukum. Dia mengkritik model Austin yang terlalu sederhana, terutama konsep 'perintah penguasa'. Hart berpendapat bahwa sistem hukum modern tidak bisa dijelaskan hanya dengan konsep perintah dan sanksi. Hart memperkenalkan teori Rule of Recognition (Aturan Pengakuan). Ini adalah aturan yang lebih fundamental yang memungkinkan suatu masyarakat mengidentifikasi hukum mana yang berlaku. Aturan pengakuan ini seringkali tidak tertulis, tetapi diakui dan diterima oleh para pejabat negara (hakim, polisi, dll.). Hart juga membedakan antara primary rules (aturan yang mengatur perilaku, seperti larangan membunuh) dan secondary rules (aturan yang mengatur aturan primer, seperti aturan tentang bagaimana membuat undang-undang baru, bagaimana mengubahnya, dan bagaimana menyelesaikannya). Menurut Hart, suatu sistem hukum yang maju adalah gabungan dari primary dan secondary rules. Pandangannya ini lebih mampu menjelaskan kompleksitas dan fleksibilitas sistem hukum modern. Jadi, guys, para tokoh ini dengan pemikiran mereka yang berbeda-beda, namun saling melengkapi, telah membentuk fondasi yang kokoh bagi teori positivisme hukum yang kita kenal sampai sekarang. Sungguh sebuah kontribusi yang luar biasa bagi studi hukum!.

Perbedaan Positivisme Hukum dan Hukum Alam

Nah, ini dia poin krusial yang sering bikin orang bingung, guys: apa bedanya positivisme hukum dengan hukum alam? Sederhananya, perbedaannya terletak pada sumber dan validitas hukum. Positivisme hukum, seperti yang sudah kita bahas panjang lebar, itu sangat menekankan hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh otoritas manusia yang sah. Validitas hukum di sini bergantung pada proses pembuatannya, bukan pada isinya yang harus adil atau sesuai moral. Jadi, selama hukum itu dibuat sesuai prosedur yang berlaku oleh badan yang berwenang, maka itu adalah hukum yang sah, titik. Nggak peduli kamu merasa hukum itu nggak adil atau nggak bermoral. Sebaliknya, hukum alam itu berakar pada keyakinan bahwa ada prinsip-prinsip moral universal yang berlaku secara inheren pada semua manusia dan alam semesta. Hukum alam itu dianggap lebih tinggi dari hukum buatan manusia. Validitas hukum buatan manusia diukur dari kesesuaiannya dengan hukum alam. Kalau ada hukum buatan manusia yang bertentangan dengan hukum alam, maka hukum itu dianggap tidak sah atau tidak memiliki kekuatan moral untuk ditaati. Bayangkan aja kayak hukum gravitasi, kan nggak perlu undang-undang buat ngatur orang biar jatuh kalau lompat dari gedung tinggi, itu udah kodrat alam. Nah, hukum alam juga begitu, dianggap sebagai kebenaran fundamental yang bisa ditemukan melalui akal budi atau wahyu. Tokoh-tokoh hukum alam seperti Thomas Aquinas percaya bahwa hukum buatan manusia itu harus mencerminkan hukum abadi (eternal law) yang merupakan pikiran Tuhan. Kalau kita lihat dari sudut pandang ini, positivisme hukum lebih bersifat deskriptif; ia menggambarkan hukum sebagaimana adanya. Sementara hukum alam lebih bersifat normatif; ia berbicara tentang bagaimana hukum itu seharusnya. Perbedaan mendasar ini punya implikasi besar, lho. Misalnya, dalam kasus rezim otoriter yang membuat undang-undang diskriminatif. Positivisme hukum akan mengatakan bahwa undang-undang tersebut tetap sah selama dibuat sesuai prosedur, meskipun tidak etis. Sementara penganut hukum alam mungkin akan menolak mentah-mentah undang-undang tersebut karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang universal. Jadi, bisa dibilang, positivisme hukum itu pragmatis dan fokus pada realitas hukum yang berlaku, sementara hukum alam itu idealis dan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih luhur. Mana yang lebih baik? Itu pertanyaan yang kompleks dan sering jadi bahan perdebatan. Tapi yang jelas, memahami perbedaan keduanya sangat penting agar kita nggak salah kaprah soal apa itu hukum dan bagaimana seharusnya kita memandang hukum dalam masyarakat. Contoh perbedaan positivisme hukum dan hukum alam bisa kita lihat dalam konteks peraturan yang dibuat pemerintah. Jika pemerintah membuat peraturan pajak yang tinggi, positivisme hukum akan melihatnya sebagai hukum yang sah jika dibuat sesuai prosedur legislatif. Sementara pandangan hukum alam mungkin akan mempertanyakan keadilan dari pajak tersebut jika dirasa memberatkan rakyat secara tidak proporsional dan melanggar prinsip keadilan dasar.

Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law) Hans Kelsen

Hans Kelsen, seorang ahli hukum asal Austria, memberikan sumbangsih yang unik dalam positivisme hukum melalui Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre). Kelsen ini kayak semacam 'positivis' yang sangat ketat, guys. Dia ingin membangun ilmu hukum yang benar-benar 'murni', terlepas dari segala macam unsur non-hukum, seperti moralitas, sosiologi, politik, bahkan keadilan itu sendiri. Tujuannya apa? Supaya hukum bisa dipelajari secara ilmiah, objektif, dan sistematis, layaknya ilmu-ilmu alam. Kelsen memulai dengan memisahkan hukum dari moralitas. Dia bilang, kalau kita mencampuradukkan hukum dengan moral, nanti malah bingung sendiri. Hukum itu harus dilihat sebagai sebuah sistem norma yang hierarkis. Nah, di puncak hierarki ini, ada yang namanya Grundnorm atau Norma Dasar. Apa itu Grundnorm? Ini adalah norma hipotesis, semacam asumsi dasar yang membuat semua norma di bawahnya dianggap sah. Jadi, Grundnorm itu bukan hukum yang dibuat oleh manusia, tapi semacam postulat atau keyakinan fundamental yang membuat seluruh sistem hukum itu 'bekerja'. Misalnya, kita menganggap sah Konstitusi negara kita karena ada Grundnorm yang mendasarinya. Grundnorm ini bisa diibaratkan seperti fondasi rumah yang nggak kelihatan tapi penting banget. Kelsen juga membedakan antara ilmu hukum (Rechtswissenschaft) dengan keadilan. Keadilan, menurut Kelsen, itu adalah konsep yang relatif dan subjektif, jadi nggak bisa dijadikan dasar ilmiah dalam studi hukum. Dia lebih fokus pada struktur hukum itu sendiri. Baginya, hukum adalah sebuah sistem peraturan yang bersifat memaksa (imperative). Setiap norma hukum itu menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta apa yang harus terjadi jika norma itu dilanggar (yaitu, sanksi). Sistem hukum itu bersifat hierarkis, artinya ada norma yang lebih tinggi dan ada norma yang lebih rendah. Norma yang lebih rendah harus sesuai dengan norma yang lebih tinggi. Misalnya, undang-undang harus sesuai dengan UUD, dan peraturan pemerintah harus sesuai dengan undang-undang. Rantai ini terus berlanjut sampai ke Grundnorm. Jadi, Teori Hukum Murni Hans Kelsen ini menekankan pada validitas formal hukum, yaitu bagaimana hukum itu dibuat dan terhubung dalam suatu sistem hierarkis, tanpa memperhatikan isi atau substansinya. Kelsen berusaha menjadikan ilmu hukum sebagai ilmu yang otonom, bebas dari pengaruh-pengaruh luar. Meskipun pandangannya sering dikritik karena dianggap terlalu abstrak atau mengabaikan aspek keadilan dan kemanusiaan, teori Kelsen ini sangat berpengaruh dalam perkembangan positivisme hukum modern, guys. Dia mengajarkan kita untuk melihat hukum sebagai sebuah struktur logis yang terorganisir.

Penerapan Positivisme Hukum dalam Sistem Hukum Modern

Sekarang, yuk kita lihat gimana sih positivisme hukum ini diterapkan dalam kehidupan nyata, terutama dalam sistem hukum modern yang kita jalani sekarang. Jauh di lubuk hati, banyak sistem hukum di dunia ini yang masih sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip positivisme. Coba deh perhatikan, gimana sebuah undang-undang itu dibuat? Ada proses legislasi yang jelas, kan? Mulai dari draf rancangan, pembahasan di parlemen, persetujuan, sampai diundangkan. Nah, selama proses itu diikuti sesuai aturan, maka undang-undang itu dianggap sah dan berlaku. Ini adalah esensi dari positivisme hukum: validitas hukum terletak pada cara pembuatannya yang sah, bukan pada apakah isinya itu 'adil' menurut pandangan pribadi kita. Contoh paling nyata adalah di negara-negara demokrasi modern. Ketika parlemen mengesahkan undang-undang baru, entah itu tentang perpajakan, ketenagakerjaan, atau lingkungan, maka undang-undang tersebut harus ditaati oleh seluruh warga negara dan lembaga pemerintah, termasuk hakim. Hakim, ketika memutuskan sebuah perkara, tugas utamanya adalah menerapkan hukum yang berlaku sebagaimana adanya, bukan menciptakan hukum baru berdasarkan moral pribadinya. Kalau ada perbedaan pendapat mengenai penafsiran hukum, itu akan diselesaikan melalui mekanisme hukum yang sudah ada, misalnya banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bagaimana hukum positif yang tertulis dan diakui menjadi acuan utama. Selain itu, sistem peradilan kontinental (civil law system) yang banyak dianut di Eropa dan negara-negara lain, sangat kental nuansa positivisme hukumnya. Dalam sistem ini, undang-undang tertulis (kodifikasi) memegang peranan sentral. Hakim cenderung lebih terikat pada teks undang-undang. Di sisi lain, sistem common law (yang berkembang di Inggris dan negara-negara persemakmuran) mungkin terlihat sedikit berbeda karena sangat mengandalkan preseden (putusan hakim sebelumnya). Namun, bahkan dalam common law, prinsip bahwa hukum yang berlaku adalah hukum yang diputus oleh pengadilan yang sah tetap menjadi fondasi utama. Para hakim dalam sistem common law pun harus mengikuti aturan hukum yang sudah ada dan hanya bisa 'membedakan' kasus baru dari preseden lama berdasarkan alasan hukum yang kuat. Jadi, bisa dibilang, positivisme hukum membantu menciptakan kepastian hukum (legal certainty). Ketika kita tahu persis hukum apa yang berlaku, kita bisa bertindak sesuai aturan dan menghindari pelanggaran. Ini penting banget untuk stabilitas sosial dan ekonomi. Tanpa kepastian hukum, orang akan ragu-ragu untuk berinvestasi, membuat perjanjian, atau bahkan melakukan kegiatan sehari-hari karena takut melanggar sesuatu yang tidak jelas. Tentu saja, penerapan positivisme hukum tidak selalu mulus. Kadang muncul pertanyaan, bagaimana jika hukum yang berlaku itu sangat tidak adil atau bahkan melanggar hak asasi manusia? Di sinilah seringkali terjadi perdebatan antara positivisme hukum yang ketat dengan pendekatan hukum alam atau teori keadilan. Namun, secara umum, positivisme hukum telah menjadi tulang punggung dalam struktur hukum modern, menyediakan kerangka kerja yang logis dan konsisten untuk mengatur masyarakat. Ini bukan berarti tidak ada ruang untuk kritik atau perbaikan, tapi fondasinya tetap kuat.

Kritik terhadap Positivisme Hukum

Oke guys, setelah kita bahas panjang lebar soal kerennya positivisme hukum, sekarang saatnya kita lihat dari sisi lain. Nggak ada teori yang sempurna, kan? Begitu juga dengan positivisme hukum. Ada beberapa kritik penting yang dilayangkan kepada pandangan ini, dan ini bagus banget buat kita jadi lebih kritis. Salah satu kritik paling umum adalah bahwa positivisme hukum terlalu memisahkan hukum dari moralitas. Para kritikus berpendapat, kalau hukum itu benar-benar dipisahkan dari keadilan dan moralitas, maka hukum yang dibuat oleh rezim yang jahat sekalipun bisa dianggap sah. Bayangkan aja, guys, kalau ada negara yang punya undang-undang yang melarang kelompok tertentu untuk punya hak sama, atau bahkan membenarkan perbudakan, menurut positivisme hukum yang ketat, itu tetaplah hukum yang sah selama dibuat sesuai prosedur. Ini kan terdengar mengerikan ya? Kritikus seperti Lon Fuller bilang, hukum itu punya 'moralitas internal' yang nggak bisa diabaikan. Fuller mengajukan delapan syarat agar suatu aturan bisa disebut sebagai 'hukum' yang benar, di antaranya adalah aturan itu harus bersifat umum, dipublikasikan, tidak berlaku surut, dapat dipahami, dan konsisten. Kalau suatu aturan melanggar syarat-syarat ini, maka itu bukan hukum yang sesungguhnya, melainkan semacam penyalahgunaan kekuasaan. Kritik lain datang dari para penganut hukum alam (seperti yang sudah kita bahas). Mereka berpendapat bahwa ada prinsip-prinsip moral universal yang lebih tinggi dari hukum buatan manusia. Kalau hukum buatan manusia bertentangan dengan prinsip-prinsip ini, maka ia kehilangan validitas moralnya. Jadi, meskipun secara formal sah, hukum itu tidak wajib ditaati dari sudut pandang moral. Tokoh seperti Martin Luther King Jr. dalam suratnya dari penjara Birmingham, dengan tegas membedakan antara hukum yang adil dan hukum yang tidak adil, dan menyatakan bahwa hukum yang tidak adil tidak wajib ditaati. Selain itu, ada juga kritik yang mengatakan bahwa positivisme hukum, terutama dalam versi Kelsen yang 'murni', terlalu abstrak dan kering. Dengan mengabaikan konteks sosial, politik, dan sejarah, teori ini dianggap gagal menjelaskan realitas hukum yang kompleks dan dinamis. Hukum itu kan nggak cuma sekadar tumpukan norma, tapi juga diciptakan dan diterapkan oleh manusia dalam masyarakat yang punya berbagai kepentingan dan nilai. Mengabaikan aspek-aspek ini bisa membuat pemahaman hukum menjadi dangkal. Ada juga pandangan bahwa positivisme hukum terlalu berfokus pada kepatuhan dan mengabaikan peran penting kesadaran moral warga negara dalam menciptakan hukum yang benar-benar adil dan berfungsi baik. Jika warga negara hanya patuh karena takut sanksi, bukan karena keyakinan pada kebenaran hukumnya, maka stabilitas hukum itu rapuh. Jadi, guys, kritik-kritik ini penting banget untuk diingat. Mereka mengingatkan kita bahwa hukum itu nggak bisa dilepaskan sepenuhnya dari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan konteks sosial. Memahami positivisme hukum itu penting, tapi memahami keterbatasannya juga sama pentingnya agar kita bisa terus berusaha menciptakan sistem hukum yang lebih baik. Perdebatan antara positivisme hukum dan aliran pemikiran hukum lainnya terus berlanjut, menunjukkan bahwa pertanyaan tentang 'apa itu hukum' dan 'bagaimana seharusnya hukum' akan selalu relevan.

Kesimpulan

Jadi, guys, setelah kita menyelami lautan positivisme hukum, apa yang bisa kita tarik sebagai kesimpulan utama? Intinya, positivisme hukum itu adalah sebuah pandangan dalam filsafat hukum yang menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas. Hukum, menurut para positivis, adalah apa yang dibuat oleh otoritas yang sah (hukum positif), terlepas dari apakah isinya itu adil atau sesuai dengan moralitas universal. Konsep ini berakar pada pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Jeremy Bentham, John Austin, dan H.L.A. Hart, yang masing-masing memberikan kontribusi dalam memahami hukum sebagai seperangkat aturan yang dibuat manusia dan memiliki struktur serta validitas formal. Teori Hukum Murni Hans Kelsen juga memperkuat positivisme dengan mencoba menciptakan ilmu hukum yang 'murni', terlepas dari unsur-unsur non-hukum seperti moralitas dan keadilan, dengan fokus pada hierarki norma dan Grundnorm. Penerapan positivisme hukum terlihat jelas dalam sistem hukum modern, di mana kepastian hukum dan proses legislasi yang sah menjadi prioritas. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kritik terhadap positivisme hukum. Kekhawatiran terbesar adalah potensi hukum menjadi alat penindasan jika benar-benar dipisahkan dari moralitas dan keadilan. Perdebatan antara positivisme hukum dan hukum alam, misalnya, terus menghiasi dunia pemikiran hukum, menunjukkan bahwa pencarian akan hukum yang adil dan bermoral adalah perjalanan yang tak pernah berakhir. Pada akhirnya, memahami positivisme hukum bukan hanya soal menghafal teori, tapi lebih kepada bagaimana kita bisa menganalisis hukum secara objektif, memahami dasar validitasnya, namun tetap kritis terhadap implikasi moral dan sosialnya. Ini adalah fondasi penting untuk memahami bagaimana dunia hukum kita bekerja, sekaligus membuka ruang untuk perbaikan dan pencarian keadilan yang berkelanjutan. Semoga artikel ini membantu kalian lebih paham ya, guys!